PERHATIAN!!

" Tulisan-tulisan yg sudah saya posting disini hanya sebagai contoh,karna belum mendapat izin dari Penulis. do'a kan aja,supaya para Penulisnya mau berpartisipasi untuk mengembangkan bakat tulisnya di sini.. Amin..! "

Entri Populer

Rabu, 06 April 2011

GADIS UNGU - Oleh Zian Armie W 27 Februari jam 8:29

Luar biasa! Aku bahkan hampir
tak percaya bahwa aku sekarang
bisa kuliah, menjadi seorang
mahasiswa sebuah perguruan
tinggi ternama di Banjarmasin. Ah,
baik sekali Tuhan. Dulunya hal itu
kumasukkan dalam kategori
terlampau mustahil dalam daftar
angan-anganku. Namun sekali
lagi, Tuhan sangat baik, Dia
robohkan tembok kepelitan
ayahku yang selama ini
menghalangiku buat bermimpi
itu.
Bicara soal Ayah,
beliau adalah seorang guru SD di
desa tempat kami tinggal. Beliau
juga punya lahan sawah yang
sebenarnya harus aku kerjakan
setamat dari pesantren beberapa
bulan yang lalu. Satu hal yang
paling mencolok dari beliau: pelit!
Alah …., memangnya
peduli apa aku dengan itu?!
Sekarang kenyataannya adalah
aku bisa kuliah, seorang
mahasiswa! Maka alangkah
baiknya kunikmati saja euforia ini.
Kenyataan lain lagi ialah, bahwa
kegembiraan ini tak hanya selesai
di sini. Berkat jadi mahasiswa aku
juga, secara misterius,
dipertemukan Tuhan denganmu,
seorang gadis cantik berkerudung
ungu. Denganmulah hatiku tiba-
tiba terjerat, aku jatuh cinta. Dan,
kalau boleh aku mengatakan ini,
kau pun sebenarnya juga
demikian. Cuma tebakanku saja
memang, tapi cuma itu yang bisa
kusimpulkan saat ini, di mana
sekarang aku tengah berdua
denganmu di Pantai Jodoh,
demikian orang Banjarmasin
menyebut tempat ini. Sebuah
siring di depan Kantor Gubernur
Kal Sel yang membatasi Sungai
Martapura dan telah disulap
menjadi taman. Di tempat ini
biasanya pasangan kekasih
menghabiskan waktu mereka.
Kau masih ingat?
Kedekatan ini mulanya dari
pengarahan ospek. Kita para
mahasiswa baru dibagi dalam
beberapa kelompok, kebetulan
aku satu kelompok denganmu.
Saat itulah aku bertemu dan
berkenalan denganmu.
“Upi,” ucapku
memperkenalkan diri sambil
menyodorkan tangan.
“Sari,” jawabmu
seraya menyambut sodoran
tanganku.
Hoho …., aku sudah
bisa bersalaman dengan cewek
bukan muhrim rupanya, padahal
aku tahu sekali bahwa hal itu
dilarang.
“Asalnya dari mana?”
Kucoba lebih akrab.
“Muara Teweh, Kal
Teng.”
“Oh….”
Rupanya Sari ya
namamu dan dari Muara Teweh
asalmu.
“Pian?”
Eh, kau pakai kata
‘pian’, sebuah kata halus dalam
bahasa Banjar yang artinya
‘ kamu’, tanda penghormatan.
Tapi aku tidak akan memakai kata
‘ ulun-pian’ terhadapmu, cukup
‘aku-kamu’ saja, supaya tidak
tampak dibuat-buat dan kau
kenal aku apa adanya.
“Marabahan, tidak
terlalu jauh dari Banjarmasin.”
Demikianlah semua ini
berawal. Aku, kau dan teman-
teman satu kelompok lainnya jadi
tambah akrab saja, sebab kita
mau tak mau harus kerja sama
buat mempersiapkan barang-
barang yang akan dibawa selama
masa ospek.
Sayangnya, cepat
sekali rasanya ospek itu
berlangsung. Cuma tiga hari, dan
tanpa terasa sudah selesai.
Kupikir lebih lama akan lebih
baik, walaupun kita hanya akan
disuruh-suruh dan dimarahi
panitia, tapi bersama denganmu
bagiku adalah sesuatu yang
istimewa. Yang selanjutnya
membentang di depan hanyalah
libur panjang berhubung
bertepatan dengan Ramadhan.
Namun tiga hari itu
sudah cukup untukku lebih
mengenalmu. Kau suka
memanggil teman yang lain
dengan sebutan kakak, baik itu
cowok maupun cewek, entah itu
lebih muda atau lebih tua,
tentunya tak terkecuali
denganku, jadinya kau
memanggilku Kak Upi. Selain itu
aku juga tahu bahwa kau dan
ungu adalah keserasian, serta
keanggunan. Bukan hanya
kerudungmu yang ungu, bajumu
juga terkadang ungu, HP-mu
warna ungu, tasmu ungu, bingkai
kaca matamu ungu, pun dengan
jam tangan yang selalu melingkar
di pergelangan tangan kirimu. O
iya, ternyata sandalmu juga tak
lepas dengan warna ungu.
Meski libur, selama
Ramadhan itu sent items dan
inbox selalu penuh dengan
namamu: Gadis Ungu. Setiap
malam kita SMS-an. Aku semakin
kenal saja denganmu, seorang
anak orang kaya, anak pertama,
pintar, dan baik. Apa lagi
kurangnya?
Blm ngntuk y ka?
Aku paham betul, bila
kau sudah bertanya seperti itu
artinya kaulah yang sudah
ngantuk.
Blm, aq msh segr ko…
Km udh ngntuk y?
Klo udh ngntuk y udh
Tak lama kau
membalas lagi.
Ulun jg blm ngntuk
ko ’
Ya, meskipun kau juga
tak mau mengakuinya. Tapi aku
selalu punya cara agar
percekcokan soal ngantuk ini
berakhir dengan damai.
Km istrht dlu aj, nnti
bsk
bngunnya ksiangn, g’
smpat shur
Lalu kau mengirim
balasan lagi.
Y udh, met bbo y ka…
Mmpi indh…
Aha, suka sekali aku
membaca kata bobo itu, terkesan
manis dan … manja!
*****
Akhirnya selesai juga
libur panjang, saatnya bertemu
kembali denganmu, Gadis Ungu,
setelah benih-benih cinta itu
tumbuh dan subur di hatiku. Tapi
karena beda lokal, kita jarang
bertemu. Kau di B, dan aku di C.
Bila kau sedang jam pulang, aku
jam masuk, begitu pula
sebaliknya.
Hari itu hari Minggu,
aku menjemputmu di kost. Hari
sebelumnya kau bilang mau ke
Gramedia, kutawarkan diri
mengantarmu. Kau mau. Dan
jadilah hari Minggu itu aku
memboncengmu pakai motor ke
Gramedia yang ada di Duta Mall.
Sekalian saja jalan-jalan keliling
Banjarmasin sampai sore. Kau
jarang ke Banjarmasin, jadinya
kau masih kurang tahu tentang
lokasi-lokasi di Banjarmasin.
“Nah, di sini namanya
Pantai Jodoh,” jelasku saat kita
sudah berada di siring di depan
Kantor Gubernur Kal Sel, rute
terakhir jalan-jalan kita hari itu.
“Sungai di depan kita
ini namanya Sungai Martapura,”
terangku lagi.
Wajahmu yang cantik
itu menunjukkan kesan kagum.
Siring sekaligus taman kota yang
diberi nama Pantai Jodoh ini
memang ditata sedemikian rupa
biar cocok buat nongkrong.
Kau tak banyak
berkata-kata. Segera kau mencari
posisi duduk di sebuah batang
yang terbuat dari kayu ulin. Dari
sana bisa leluasa melihat Sungai
Martapura sambil menjulurkan
kaki ke sungai.
Ah, indah sekali
rasanya hari itu. Memandang riak
sungai, perahu, kelotok, ilung,
elang. Ingin rasanya kunyatakan
cintaku padamu saat itu, bahwa
cintaku sudah mengakar kuat,
namun entah mengapa lidahku
terasa kelu.
Biarlah. Kurasakan
saja indahnya hari itu tanpa harus
ada sesuatu yang mungkin akan
merusaknya. Ya, sangat mungkin
kau menolak cintaku ini, dan
barangkali kau cuma
menganggapku teman biasa dan
tidak ada artinya.
Gerimis satu persatu
jatuh. Tak lama lagi akan berubah
menjadi hujan lebat. Kuantar kau
pulang ke kost.
*****
Sesudah acara jalan-
jalan itu, kita jadi lebih sering
jalan, pakai motorku tentunya.
Kau suka sekali bila diajak ke
Pantai Jodoh atau siring di depan
Mesjid Sabilal. Teman-temanku di
kampus juga sudah tahu dengan
kedekatan ini.
“Kapan jadian nih?”
Amrullah, nama temanku yang
bertanya ini, kebetulan dia juga
dari Muara Teweh, sama
denganmu.
“Masih belum…”
“Waduh lama amat!
Duluan orang baru tahu rasa!!”
Ya, aku sadar akan
hal itu, namun sulit kujelaskan
masalahku ini. Terlalu rumit,
agaknya. Namun bila
disederhanakan akan menjadi
seperti ini: Kau cantik, sedangkan
aku, belum pernah ada yang
bilang ganteng dan sering
dibilang berwajah kampungan.
Kau kaya, orangtuamu seorang
polisi, sedang orangtuaku
hanyalah seorang guru SD
berpangkat rendah yang pelit.
Bila perlu uang, kau tinggal
mencolokkan kartu ATM-mu ke
mesin, keluar uang ratusan ribu.
Sedang aku, bila ada keperluan
harus menunggu sampai
orangtuaku gajian dan itu belum
tentu dikasih. Kau biasa jalan-
jalan pakai mobil, dan aku hanya
punya motor. Kau pintar, di
sekolahmu dulu kau ambil
jurusan IPA, kau juga hebat
Bahasa Inggris, sedangkan aku
hanyalah tamatan pesantren
yang dengan pelajaran fisika saja
tidak tahu itu pelajaran apa.
Bahasa Inggris, tak usah ditanya,
yang aku tahu cuma Yes, No, dan
I Love You. Modal akademikku
hanyalah ijazah paket C!
Maka yang ada
padaku sekarang adalah
bimbang, antara tetap seperti ini
atau kunyatakan saja perasaan
itu. Bila tetap seperti ini, aku bisa
terus berada di dekatmu tanpa
ada beban, kecuali cinta itu
sendiri. Jika kunyatakan cintaku,
aku belum tahu apa jawabanmu,
yang pasti kau punya banyak
alasan untuk menolaknya. Aku
sadar betul akan hal itu.
*****
Kebimbangan itu
berlanjut sampai saat ini, di Pantai
Jodoh ini. Matahari tak lagi
sepanas siang tadi. Cahaya
kemerahannya memantul di
sungai yang beriak-riak.
“Kamu suka tempat
ini?” tanyaku memecah
keheningan, di tengah kebisingan
jalan raya.
Angin sore
berhembus pelan. Menerbangkan
daun-daun yang berjatuhan serta
membelai kerudung ungumu.
Syahdu.
“Ya.”
Kembali hening.
Namun tidak dengan hatiku.
Hatiku gemuruh. Mendesak. Ada
sesuatu yang harus segera
dikeluarkan.
“Sari, boleh aku
jujur?”
“Ya?”
Jantungku tidak
terkontrol lagi.
“Aku cinta kamu…”
Sebenarnya aku ingin
pakai bahasa Inggris, I love you,
tapi khawatir salah
mengucapkannya dan kau
tertawakan. Lebih takutnya lagi
bila nanti juga kau jawab dengan
bahasa Inggris, sebab aku pasti
tidak mengerti.
Kau diam sesaat, tidak
ada kesan kaget. Mungkin hal
semacam ini sudah biasa kau
alami. Lalu tersenyum.
“Ulun juga…”
Apa??? Benarkah
yang kudengar itu???
“Sungguh?” Kucoba
memastikan.
Kau mengangguk,
masih dengan senyum tadi.
Cantik sekali.
Hah, aku benar-benar
tidak percaya! Semudah itu
rupanya. Tubuhku seperti
melayang di udara.
“UPI….!!!!! CEPAT
BANGUN…!!!!! AMBILKAN AIR DI
SUNGAI DUA EMBER…!!!!!” Suara
ibu!
Aku megap-megap.
Kepingan-kepingan kesadaranku
perlahan terkumpul. Sambil
mengucek mata, kulihat jam.
Astagfirullah … sudah jam tujuh!
Rupanya malam tadi
aku tidur nyenyak sekali. Setelah
shalat isya aku langsung tertidur
lantaran siangnya seharian
berkubang lumpur di sawah,
mengangkut rumput-rumput
yang sudah busuk yang biasa
kami sebut kumpai. Kumpai itu
sangat berat sebab bercampur
dengan air. Dan pekerjaan
tersebut belum selesai, hari ini
harus dilanjutkan lagi kalau tak
mau merasakan kemarahan ayah.
Huh, semuanya tadi
ternyata cuma mimpi. Tentu saja,
sampai kapanpun tak mungkin
aku dikuliahkan orangtuaku,
dibelikan motor, apalagi
dibolehkan keluyuran.
Aku segera bangkit,
mengambil dua buah ember, lalu
berjalan ke sungai sekalian untuk
berwudhu. Terpaksa shalat subuh
kali ini qada ’an. Saat shalat, wajah
cantik Gadis Ungu dalam mimpi
tadi masih saja terbayang. Seperti
sudah terpahat dalam kepala.
*****
Sesudah hari itu, di
mana saja; di jalan, di pasar, di
Mesjid atau di warung, bila
kulihat seseorang dengan
kerudung atau pakaian berwarna
ungu, aku selalu menghampirinya
lantas mencocokkan wajahnya,
berharap itu adalah kamu, Gadis
Unguku. Meskipun yang akhirnya
terus kudapati ialah berbeda. Bila
ada kesempatan, aku ke
Banjarmasin pakai angkot dan
singgah di Pantai Jodoh untuk
menghabiskan waktu, barangkali
akan menemukanmu di sana. Aku
yakin, suatu saat kau akan
kutemukan![]
Handil Bakti, 12 Nopember 2010
(Banjarmasin Post, 12 Desember
2010)